Berbicara tentang pendidikan itu artinya berbicara tentang suatu misi agung, yang dibebankan kepada manusia berakal dari Rasulullah SAW. Hal itu tidak terlepas dari satu syi’ar yang sering kita dengar, yaitu dengan syi’ar amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, pendidikan harus jelas misinya, yaitu mengarah kepada amar ma’ruf nahi mungkar. Pendidikan adalah penggemblengan manusia yang terdiri dari akal dan hati artinya akal dan ruh, ada jasad ada ruh atau ada jasad ada hati. Maka sesungguhnya pendidikan adalah bagaimana kita menggembleng ruh kita dan jasad kita, bagaimana kita mencekoki akal kita sekaligus hati kita dengan ilmu pengetahuan. Sebuah lembaga pendidikan yang tidak mengarah kepada dua hal tersebut, maka dia adalah telah gagal sebelum melakukan segala sesuatunya. Jadi adanya lembaga pendidikan memang harus benar-benar memperhatikan sisi akal sekaligus sisi hati nurani, memperhatikan kepada pendidikan, kepada ruh, sekaligus kepada yang namanya akal agar tidak terjadi kepincangan. Karena yang dituju atau tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia hidup baik di dunia dan di akhirat.
Hidup baik di dunia ini adalah mulai dari bertatakrama yang bagus secara dhohir, bertatakrama secara baik di dalam berinteraksi dengan sesama. Ini adalah yang menjadikan hidup di dunia menjadi enak dan dengan bertatakrama yang baik ini, secara otomatis nanti akan menimbulkan suatu keberhasilan di dalam menjalani kehidupan di dunia. Adapun masalah soal materi itu adalah hal mengikut, selagi orang yang memperhatikan bagaimana cara hidup baik kepada sesama, maka akan tumbuh tolong menolong dan akan tumbuh sifat untuk membangun sekiranya bisa semakin indah antara sesama. Akan tetapi jika ditinjau dari sebaliknya memperhatikan urusan materi saja tanpa di berengi keperdulian terhadap moral, maka sesungguhnya hanya akan menjadikan orang jauh dari namanya pendidikan akhirnya muncul orang-orang beringas yang mementingkan materi. Jadi cukuplah jika seandainya orang itu baik, maka urusan materi itu tidak menjadi sebuah pemikiran.
Adapun melangkahnya orang kepada kekayaan itu adalah suatu hal yang sangat wajar untuk mencari hidup yang lebih bagus. Semua orang akan bekerja walaupun tidak disuruh, semua orang selalu ingin maju biarpun tidak disuruh. Akan tetapi menjadikan hati ini merasa kaya, inilah tugasnya seorang pendidik. Di dalam jual beli adalah benar, ini adalah tugasnya para pendidik. Di dalam bercocok tanam adalah benar, ini adalah tugasnya para pendidik. Maka secara akhlak dhohir harus dibentuk juga tatakramanya yang benar, lebih dari itu untuk menjadikan dia hidup indah di akhirat adalah dengan cara penanaman ke dalam hati suatu watak yang ikhlas, watak tawadu karena Allah SWT. Ini menjadikan apa yang ia lakukan di dunia ini adalah diterima.
Dua hal yang harus dituju di dalam pendidikan, yaitu keseimbangan di dalam kehidupannya di dunia. Dalam arti menjelaskan dia tetang akhlak-akhlak dhohir ini, di dalam jual beli dia harus begini dan di dalam urusan ini dia harus begini dan begitu. Kemudian jangan lupa harus ditekankan makna yang lebih agung, yaitu bagaimana dia menjalani semuanya itu karena Allah SWT dengan penuh keikhlasan dan penuh kekhusuan. Kemudian kita perlu melihat lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, jika kita cermati satu per satu dari lembaga pendidikan di Indonesia, maka kita akan melihat kekurangan sebagai berikut:
A. Kurang jelasnya program
Kurang jelasnya program yang diterapkan di dalam sebuah lembaga pendidikan. Artinya ada lembaga pendidikan yang tidak mencakup kepada program pengenyangan terhadap akal, pengenyangan kepada hati, pembinaan terhadap jiwa, dan sekaligus peminaan terhadap akhlak dhohir ini. Di sini adalah kepincangan.
B. Tidak ditemani dengan tenaga ahli
Tidak ditemani dengan tenaga ahli, sehingga misalnya ada sebuah lembaga pendidikan yang mencoba dihadirkan di dalamnya adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang benar-benar luar biasa, akan tetapi ternyata yang mengajar bukan orang yang ahli di dalamnya. Ataupun ada lembaga pendidikan yang mencoba mendatangkan ahli-ahlinya sekaligus programnya jelas, akan tetapi kedisiplinan itu tidak ada. Maka kedisiplinan itu yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW, Allah SWT itu senang kepada hambanya jika melakukan sesuatu itu dengan sungguh-sungguh.
Kita ambil contoh dalam program pendidikan Islam di Indonesia, pendidikan pesantren itu programnya luar biasa. Rentetan program ilmu agama itu luar biasa indah, dari yang paling dasar sedikit demi sedikit sehingga kepada kitab yang sangat besar. Sesungguhnya kalau cara yang ada di pesantren itu ditekuni, akan keluar seorang yang alim. Hanya kelemahannya di dalam pendidikan pesantren adalah di situ tidak ada kedisiplinan. Memang ada di antara pesantren yang sudah memiliki tenaga ahli, ada orang alim yang mengajar atau para ulama yang mengajar. Ada juga pesantren yang mengajarnya bukan orang alim, kalau yang mengajarnya orang yang tidak mempunyai kapasitas di dalam ilmu itu, maka jelas sulit untuk mencapai keberhasilan.
Ada yang sudah didatangkan orang yang sudah mempunyai kapasitas, di beberapa pesantren-pesantren yang kita saksikan masya Allah di situ adalah banyak orang-orang yang sangat alim. Akan tetapi tidak ada kedisiplinan sistem belajarnya itu lilahita’ala, dalam arti tidak pernah di cek tentang hasil yang diperoleh oleh sang siswa. Sehingga kalau sudah belajar mengartikan, ditutup selesai. Jadi siswa itu tidak pernah membaca kedua kali atau ketiga kali, kecuali akan ujian dan ujian pun hanya begitu-begitu. Ini adalah kurang adanya kedisiplinan, kita bisa membandingkan dengan pendidikan yang ada di luar negeri misalnya di lembaga-lembaga pesantren yang pernah kita saksikan di luar negeri. Misalnya dari duapuluh siswa yang keluar setiap tahun, itu ternyata limabelas itu menjadi seorang yang alim atau seorang ulama. Ini adalah dibanding dengan Indonesia misalnya keluar seribu, tentunya harus tujuhratus menjadi alim ulama. Itu benar dari beberapa pendidikan yang kita saksikan, guru itu mengajar dan mengartikan keluar dan selesai. Tidak pernah dia menjabarkan dan guru sendiri tidak pernah ingin berkembang ilmunya. Padalah semestinya guru itu kalau mengajari dia itu bukan membaca kitab yang akan diajarkan saja, akan tetapi dia harus mencari kesana-kesini untuk menambah ilmu yang akan disampaikan kepada anak. Gurupun harus ingin tahu apakah anaknya ini paham atau tidak, bukan di dalam tradisi di pesantren guru itu mengartikan selasai, mengartikan terus selesai dan begitulah seterusnya. Maka sesungguhnya inilah yang dimaksud dengan ketidak disiplinan, sehingga guru itu tugasnya seolah-olah hanya mengartikan saja. Sementara belajar yang sesungguhnya bukan hanya mengartikan yang seperti itu, ini adalah salah satu kelemahan di persantren. Sehingga ada pesantren yang jumlahnya ribuan, tetapi tidak bisa mengeluarkan orang alim kecuali sedikit sekali.
Adapun lembaga pendidikan umum seratus persen itu adalah memang tidak ada atau sedikit sekali masalah pendidikan agama. Tentunya di sini tidak menjadi catatan kepada kami sebagai lembaga pendidikan yang kita harapkan di masa depan. Karena ilmu agama itulah, ilmu akhlak yang kita harapkan untuk membenahi kesejahteraan negara ini. Sopan santun kepada sesama itu, hanya kita peroleh melalui pendidikan agama, yaitu ajaran Rasulullah SAW.
Ada lagi sekolah umum yang mencoba memadukan dengan pendidikan agama. Kalau kita lihat kurikulum di Aliyah-Aliyah umum itu sudah mengcukupi dari mulai akidah, fiqih, dan sebagainya akan tetapi kenapa anak yang belajar itu seolah-olah tidak paham? Padahal dia belajar tiga tahun, kalau sudah keluar tetap saja. Kalau kita amati jelas di situ karena kurangnya tenaga-tenaga yang berkualitas. Guru yang mengajar itu hanya membaca buku saja dengan bahasa indonesia, kemudian membuat soal sesuai yang ada dan selasai. Karena bukan seorang yang fakih atau bukan seorang yang benar-benar menguasai di dalam hal ini. Ini yang terjadi di lembaga pendidikan umum yang mencoba memasukan pendidikan agama. Ini bisa terjadi karena sedikit orang yang menguasai ilmu agama dan mereka tidak memiliki ijazah, sehingga tidak bisa mengajar dilembaga formal yang ada agamanya.
Ini adalah beberapa hal yang harus kita cermati, maka perlu kita membangun suatu tatanan yang baru untuk menciptakan lembaga pendidikan yang benar-benar membangun jiwa dan raga, kemudian akal sekaligus hati. Adapun termasuk lembaga pendidikan yang kita sebut seperti pesantren juga kadang-kadang tidak menerapkan akhlak yang sesungguhnya. Sehingga istilah moral itu tidak diresapi dengan hati, kalau di pesantren banyak yang seperti itu bagaimana dipendidikan. Oleh karena itu, maka tarbiyah seorang guru itu semestinya harus ditanamkan kedalam hati untuk bertatakrama yang baik dan berakhlak mulia.
Karena ilmunya adalah ilmu yang dibaca dan diartikan, maka sulit untuk bisa dihadirkan di dalam ilmu penerapan, maka moral itu perlu pendidikan tarbiyah yang lebih khusus lagi. Digembleng hatinya, dinasehati secara khusus dan sebagainya. Maka kita perlu membuat tatanan yang baru, harapan bahwa kita punya sebuah lembaga pendidikan kedepan yang mementingkan tentang akal sekaligus mementingkan tentang moral. Akal harus ditopang oleh orang-orang yang berkualitas, dalam arti guru-guru yang benar-benar menguasai ilmu yang diajarkan. Lebih dari itu guru harus orang yang menjadi suri tauladan yang berakhlak mulia, karena ternyata sering kita menemukan guru agama ternyata dia adalah tidak lebih sopan daripada orang jalanan. Karena ternyata kadang-kadang di majelis yang sangat mulia, dia berbicara tentang sex dengan gaya yang sangat menggelikan dengan bicara-bicara yang sangat porno dan jorok tanpa harus mengutamakan wibawanya majelis. Kemudian begitu mudahnya seorang guru bergaul dengan misalnya santeri putri dan sebagainya tanpa harus memperhatikan tatakrama Islam, ini adalah kesalahan pertama seorang guru. Kalau guru sudah seperti ini, maka tidak akan barokah ilmunya dan juga sulit untuk ditiru oleh anak-anaknya. Maka harus ada seorang guru dan siapapun seorang guru dia harus menjadikan dirinya seorang yang berakhlak mulia yang ditemani dengan ilmu yang ia miliki. Ini adalah perlu latihan untuk menciptakan generasi yang utama, guru pintarnya kaya apa kalau akhlaknya tidak baik dia tidak jadi seorang pendidik, maka dia telah gagal mendidik orang. Oleh kerena itu, maka tatakrama yang baik dan benar dan omongannya yang sopan, sebab omongannya itu yang setiap hari yang didengar oleh anak-anak dan tingkah-lakunya pun demikian.
Jangan guru tahunya hanya punya ilmu saja dan kesombongan ada di dalam dirinya di saat mengajar. Kemudian mulutnya tidak diupayakan untuk menjaga dari bicara yang jorok. Kadang-kadang guru itu lupa hanya mengundang tawa seorang murid, sehingga dia menjadikan tawaan itu sebagai sesuatu yang disenangi. Dengan menyebut hal-hal yang sangat sensitif urusan sex dan sebagainya. Padahal ini harus dihindari dalam arti bukan tidak boleh bicara tentang sex, boleh kita menyebut kemaluan, sex, dan sebagainya. Akan tetapi kita ciptakan suatu irama yang berwibawa, ingat mejelis ini sangat mulia ini adalah pesantren, lembaga pendidikan yang benar-benar kita harapkan dimasa depan.
Adapun lembaga pendidikan yang terjadi pencampuran dan sebagainya, ini sulit untuk mewujudkan generasi-generasi yang berkualitas dalam arti dhohir batinnya itu adalah baik. Karena apa? Kita melarang ini dan itu, ternyata di luar adalah dia begitu bebasnya dalam pergaulan-pergaulan. Maka saat itu dia akan menjadi orang yang sulit untuk diarahkan kedalam urusan keagamaan. Oleh karena itu, harus dicermati ternyata kalau kita ingin membuat tatanan yang baru, maka:
A. Programnya itu harus jelas.
B. Kemudian disiplin itu harus ada.
C. Guru-guru harus mempunyai kemampuan.
Kemampuan dhohir saja itu tidak cukup, dia haru menjadi uswatun hasanah. Lembaga pendidikan harus tegas, jika ada guru yang tidak baik, maka dia harus dihukum lebih dulu. Dalam arti ditegur atau mungkin sampai dikeluarkan demi menjaga anak-anak atau bibit-bibit. Jangan sampai bibit-bibitnya teracuni sehingga tidak bisa tumbuh, padahal sudah belajar bertahun-tahun. Inilah yang seharusnya kita cermati di dalam lembaga pendidikan, maka kelemahan lembaga pendidikan dimanapun berada adalah di saat tidak memperhatikan program kurikulum yang jelas. Dalam arti tujuannya harus mencakup hal yang menopang tetang kebaikan seseorang lahir bathin, kehidupan di dunia dan di akhirat. Kemudian harus didatangkan orang-orang yang ahli didalamnya, harus ada disiplin dan orang ahli itu harus ahli benar bukan ahli fakar fiqih saja tetapi akhlaknya tidak benar, tepi fakar fiqih yang sekaligus dia mempunyai ilmu yang berkenaan dengan hati dan uswatun hasanah. Maka dengan begitu terkondisikan dalam masyarakat didalam pendidikan itu akhlaknya baik. Kalau dia keluar dia akan menjadi orang yang bisa mengangkat martabat rakyat dengan akhlak yang mulia. Inilah yang bisa kita berikan untuk membicarakan lembaga pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukan kritik dan saran anda........ komentar saja juga ok